LEGENDA DESA
Pada zaman kerajaan Mataram, pada era kekuasaan Pangeran Diponegoro, dikisahkan Sultan Hadi Hanyokrokesuma (Panembahan Senopati) dan Patih Narangkesuma sedang bermusyawarah mengenai anak angkatnya yang bernama Kyai Ageng Citrakesuma dan istrinya, Nyai Ageng Citrawati yang kabur meninggalkan Mataram karena tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai ratu. Setelah dicari ke mana-mana, Kyai Ageng Citrakesuma dan Nyai Ageng Citrawati tidak ditemukan, sehingga Sultan Hadi Hanyokrokesuma mengundang Hadipati Bandaraga dari Ambal Kebumen untuk membantu mencari anaknya. Tidak hanya Hadipati Bandaraga yang hadir, tetapi juga ada Patih Sabukminang, Sabuk Galeng, dan Sabuk Alu. Pada pertemuan itu, Sultan Hadi Hanyokrokesuma memberikan perintah kepada Hadipati Bandaraga beserta patihnya untuk mencari Citrakesuma dan Citrawati, kemudian membawa mereka kembali ke Mataram. Tak selang lama kemudian, datanglah Patih Gajah Manguntoro yang menyampaikan berita bahwa Citrakesuma dan Citrawati telah menjadi seorang Pandita dan mendirikan padepokan di wilayah Banyumas bagian timur. Mendengar berita tersebut, Hadipati Bandaraga beserta patihnya berangkat menuju Banyumas bagian timur.
Hadipati Bandaraga beserta patihnya tetap meneruskan perjalanannya untuk mencari Citrakesuma dan Citrawati sesuai titah dari Sultan Hadi Hanyokrokesuma. Sampai akhirnya, mereka bertemu dengan dua orang penggembala kambing yang memberi tahu bahwa ada 5 orang lewat menuju ke arah timur, yaitu Codot dan Kampret yang nantinya menjadi murid dari Citrakesuma. Sementara itu, di pedukuhan Kyai Ageng Citrakesuma dan Nyai Ageng Citrawati beserta muridnya, yaitu Nyai Gejlig, Nyai Majir, dan Tumenggung Sentul sedang bermusyawarah tentang pembuatan kuta atau rumah-rumah kecil dari wuluh. Selanjutnya datanglah Codot dan Kampret ke padepokan Citrakesuma dan menyampaikan bahwa ada musuh mencari Citrakesuma, yang bernama Hadipati Bandaraga. Pada saat proses pembuatan kuta belum selesai, datanglah Hadipati Bandaraga dan menyampaikan maksud kedatangannya, namun Citrakesuma dan Citrawati tidak bersedia kembali ke Mataram. Mereka tidak ingin menjadi ratu, mereka lebih suka menjadi pandita. Hadipati Bandaraga tetap memaksa dan Citrakesuma beserta istrinya tetap bersikukuh tidak ingin kembali ke Mataram. Akhirnya terjadi perang, kemudian Citrakesuma beserta istri dan murid-muridnya melarikan diri dari Hadipati Bandaraga. Hadipati Bandaraga pun mengejar Citrakesuma dan rombongannya.
Citrakesuma dan rombongannya melakukan perjalanan melewati beberapa desa, seperti Desa Kutawuluh, Desa Kutayasa, dan Desa Pucungbedug. Sampai akhirnya mereka kelelahan dan beristirahat di bawah pohon. Sembari beristirahat, mereka mencari makanan. Tiba-tiba Codot bertanya, “Pohon apa ini?”
Citrakesuma menjawab, “ini pohon nyangkuh.”
Kemudian mereka memakan buah dari pohon tersebut, tetapi rasanya sepet dan getir.
Citrakesuma berkata, “Kalau begitu, nanti pada saat ramainya zaman, daerah ini saya beri nama Desa Petir.”
Mereka melanjutkan perjalanannya ke arah selatan.
Setelah sampai pada suatu puncak, codot dan kampret melihat sebuah pohon. Pohon tersebut memiliki daun dan buah yang kecil. Mereka memakan buah tersebut dan rasanya asam. Mereka kehausan, lalu mencari sumber air. Mereka memandang ke segala arah, dan pandangan mereka terhenti tatkala menemukan sebuah lebak di bagian selatan yang airnya terlihat sangat jernih. Mereka kemudian turun dan menuju sungai tersebut untuk mengambil air minum. Setelah diminum, airnya terasa enak sekali, sehingga sungai tersebut diberi nama sungai Lebak Menak. Saat melanjutkan perjalanan menyusuri sungai, mereka tercebur ke dalam kedung yang dalamnya se dagu/uwang, sehingga mereka memberi nama daerah tersebut Kedungkuwang. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke arah barat daya.
Di suatu tempat yang tinggi, Citrakesuma dan kawan-kawan beristirahat di bawah pohon kayu. Codot dan Kampret bertanya, “Pohon apa ini? Kok semuanya terlihat kuning?”
Temenggung Sentul menjawab, “Ini kayu Bulu. Pohon ini terlihat kuning karena terkena pancaran cahayanya Gusti/Kyai Ageng Citrakesuma. Jadi tempat ini saya beri nama Bulukuning, karena kayu bulu terpancar cahaya ketampanan Citrakesuma dan cantiknya Citrawati.”
Pada saat itu, tiba-tiba datang Hadipati Bandaraga dan patihnya, lalu Citrakesuma lari sambil berkata, “Oh, besok orang daerah sini yang pria tampan-tampan dan yang wanita cantik-cantik.” Hadipati Bandaraga dapat mengejar Citrakesuma, sehingga terjadi perang. Citrakesuma merasa kalah, lalu dia pergi ke arah barat dan berteduh di bawah pohon pucung yang berada di pinggir kali atau sungai, kemudian dia murca/hilang. Citrakesuma berpesan tempat tersebut diberi nama Kali Pucung dan apabila ada orang yang ingin mengingat tentangnya, harap datang ke Panembahan Kali Pucung.
Setelah Citrakesuma pergi, Citrawati maju perang melawan Bandaraga, lalu Bandaraga lari ke arah timur dan bersembunyi di Pohon Pule yang dempet, sehingga tempat itu disebut Pule Dampit. Bandaraga melanjutkan perjalanan ke arah utara. Pada saat ia sedang lari, Citrawati melempar tombak dan mengenai pinggang Bandaraga, Bandaraga pun lari ke arah timur.
Citrawati dan murid-muridnya melanjutkan perjalanan sambil membawa tongkat yang terbuat dari kayu jati, kemudian tongkat-tongkat tersebut ditancapkan berlarikan, sehingga daerah tersebut diberi nama Jati Larik. Temenggung sentul mengetahui bahwa Citrakesuma sudah murca, sehingga Temenggung Sentul juga murca di suatu igir/puncak, sehingga igir tersebut diberi nama igir Sentul.
Citrawati kembali melanjutkan perjalanan dan turun ke arah timur untuk mencari Bandaraga. Setelah sampai di tepi sungai, Citrawati tidak melihat Bandaraga. Ia mengira Bandaraga sudah kabur. Bukannya menemukan Bandaraga, Citrawati malah melihat kerumunan pemuda yang sedang memperebutkan seorang ronggeng cantik bernama Ny Mirah. Sampai akhirnya Ny Mirah diptong-potong, ada yang mendapatkan tangannya, kakinya, kepalanya, dsb. Akhirnya, ruh Ny Mirah manjing di sebuah batu di bawah kayu, sehingga batu tersebut diberi nama Watuindang. Citrawati kemudian mencari Bandaraga ke arah selatan.
Sementara itu, di tempat lain Bandaraga sedang bercerita bahwa pinggangnya terkena tombak dan mengeluarkan darah. Lalu darahnya ditimbun dengan tanah kemudian berpesan, “Saya akan pulang ke Ambal Kebumen dan apabila ada orang yang berkepentingan silakan berbicara di tempat ini. Maksud dan tujuannya akan sampai meskipun saya berada di Ambal.” Oleh karena itu, sampai sekarang tempat itu disebut Panembahan Bandaraga. Setelah Bandaraga membuat tilas, tiba-tiba datanglah utusan dari Mataram, yaitu Warangkesuma dan Adipatianom yang menanyakan tentang Citrakesuma dan istrinya. Bandaraga kemudian menceritakan perjalanannya selama ini sampai akhirnya membuat sebuah tilas. Bandaraga memberi tahu Warangkesuma dan Adipatianom bahwa pengikut Citrawati berpencar, Ny Gejlig ke arah timur sementara Citrawati ke arah selatan bersama Codot dan Kampret. Mendengar berita tersebut, Warangkesuma dan Adipatianom memutuskan untuk mengejar Ny Gejlig ke arah timur.
Ny Gejlig melakukan perjalanan ke arah timur dan tinggal di suatu daerah. Ny Gejlig bercerita kepada warga setempat tentang perjalanannya bersama Kyai Ageng Citrakesuma dan Nyai Ageng Citrawati. Lambat laun Ny Gejlig mengajak warga untuk meratakan sebuah lereng, “Mari kita bersama-sama meratakan lereng ini supaya bisa digunakan untuk membangun rumah.” Saat Ny Gejlig dan warga sedang membuat pondasi/baturan, tiba-tiba datanglah Adipatianom yang menantang Ny Gejlig, kemudian terjadi perang. Ny Gejlig berperang dibantu oleh warga, sehingga Adipatianom kalah lalu dia lari dan bersembunyi. Dikarenakan pada waktu itu Ny Gejlig dan warga sedang membuat baturan, maka tempat tersebut diberi nama Batur. Ny Gejlig dan warga melakukan perjalanan ke arah timur Batur, kemudian mereka beristirahat. Mereka membuat sebuah sebuah masakan bubur lalu dimakan bersama-sama. Oleh karena itu, tempat itu disebut dengan daerah Bubur.
Nyai Ageng Citrawati melanjutkan perjalanannya ke arah selatan bersama Codot dan Kampret. Mereka beristirahat di bawah pohon kelapa sawit, sehingga daerah tersebut diberi nama Kelapa Sawit. Mereka terus saja melanjutkan perjalanan ke arah selatan, kemudian mereka melihat orang yang sedang mencangkul terkena petir/bledeg. Lalu, daerah itu disebut Gelap. Mereka kembali melanjutkan perjalanan ke arah selatan dan beristirahat di sebuah ereng-ereng. Citrawati berkata, “Wahh, sepertinya tempat ini cocok untuk buara/bertempat.” Kemudian, daerah ini diberi nama Buaran. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Saat sedang beristirahat, tiba-tiba Codot lapor bahwa ada warga yang mengatakan Kyai Ageng Citrakesuma murca di Kalipucung. Mendengar berita tersebut, Citrawati merasa sangat sedih, lalu berkata “Aduuhh, kalau begitu berarti saya sudah menjadi randa. Maka sebagai tilas, tempat ini saya beri nama Siranda.” Setelah perasaannya membaik, Citrawati akhirnya memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Citrawati beristirahat di bawah pohon kapas sampai akhirnya murca. Citrawati berpesan “Jika ada orang yang memiliki kepentingan denganku, datanglah ke sini!” Akhirnya, daerah tersebut terkenal dengan sebutan Panembahan Citrawati/Citrakapas.
Begitulah sejarah desa petir yang kita dapat dari cerita rakyat secara turun.
Adapun sampai saat ini Desa Petir telah dipimpin oleh 7 orang Kepala Desa antara lain :
No |
Nama |
Lama Menjabat |
1 |
WIRYA MEJA |
Tahun 1955 s/d 1957 |
2 |
AMAD WIKARTO |
Tahun 1957 s/d 1977 |
3 |
SISWANDI |
Tahun 1977 s/d 1989 |
4 |
SUPARTO |
Periode 1 : Tahun 1990 s/d 1999 Periode 2 : Tahun 1999 s/d 2007 |
5 |
SUKARYO |
Tahun 2007 s/d 2013 |
6 |
CARSO ADIANTO |
TAHUN 2013 s/d 2019 |
7 |
ACHMAD |
TAHUN 2019 – Sekarang |
SEJARAH DESA
TAHUN |
PERISTIWA BAIK |
PERISTIWA BURUK |
1955 |
Pemilihan Kepala Desa Secara Tawonan, Terpilih Bpk.WIRYAMEJA |
|
1957 |
Pemilihan Kepala Desa secara Bitingan, Terpilih Bpk.AMAD WIKARTO |
|
1977 |
Pemilihan Kepala Desa secara Coblosan Simbol, Terpilih Bpk.SISWANDI |
|
1980 |
Pembangunan Balai Desa Pertama |
|
1990 |
Pemilihan Kepala Desa secara Coblosan Simbol, Terpilih Bpk.SUPARTO |
|
1992 |
Pemindahan Balai Desa dan dibangun kembali |
|
2004 |
Pembangunan Jalur Utama Desa Lewat Larangan dengan Bantuan Dana IDT Padat Karya. |
|
2007 |
Pemilihan Kepala Desa secara Coblosan Gambar Calon, Terpilih Bpk.SUKARYO |
|
2009 |
Pengalihan Jalur Utama Desa Lewat Kemojing dengan Bantuan dana PNPM. |
|
2013 |
Pemilihan Kepala Desa secara Coblosan Gambar Calon, Terpilih Bpk.CARSO ADIANTO |
|
2019 |
Pemilihan Kepala Desa secara Coblosan Gambar Calon, Terpilih Bpk.ACHMAD |
|
2020 |
Pengalihan Status Jalan Desa menjadi Jalan Kabupaten tembus kebumen |
|
POTENSI DESA
Secara kultur sosial religius, Desa Petir banyak mencetak hafidz Alquran, kini memiliki 14 hafidz yang sudah menghafal 30 juz. Selanjutnya dari segi sumber daya alam, Desa Petir memanfaatkan penambangan pasir putih yang setiap hari dilewati truk dari berbagai daerah seperti Purbalingga, Banyumas, dan Kebumen. Selain untuk bisnis, pasir putih ini juga dimanfaatkan untuk rekreasi seperti olahraga trail maupun sekadar menikmati keindahan pemandangan Desa Petir dari tepi tambang. Tidak kalah menarik, desa ini memiliki curug (air terjun) yang sayangnya belum terkelola dengan baik.